Beberapa
orang telah menceritakan kisah ini kepada saya, antara lain Syaikh Abdullah bin
Muhammad Al-Fauzan Rahimahullah, yaitu kisah sekelompok anak muda bertubuh
kekar dan berotot, tetapi karena kemewahan yang dinikmatinya dan masa muda yang
dialaminya, mereka justru menjadi anak-anak yang durhaka. Mereka adalah
anak-anak dari keluarga berada. Tiga orang dari mereka adalah anak-anak dari
seorang warga Buraidah yang shalih dan terpandang di negerinya. Akan tetapi,
ketiga anak muda itu mempunyai kebiasaan melakukan kerusakan dan mengganggu
sesama. Mereka tidak peduli dengan nasihat siapa pun, apalagi kecaman orang.
Di antara
gangguan yang mereka lakukan ialah mereka suka menghadang para pengangkut hasil
bumi dari luar kota, khususnya para petani. Seorang di antaranya mengambil buah
semangka, yang satu lagi memakan buah-buah lainnya, dan satunya lagi memukuli
pemiliknya, bahkan melukai untanya, atau terkadang menunggangi kudanya. Tidak
seorang pun dari para pendatang itu yang mampu melawan karena fisik mereka yang
lebih kuat.
Ayah
mereka hanya bisa mengelus dada ketika orang-orang datang melapor kepadanya,
lalu membaca istirja’ danhauqalah,
atau melunakkan hati orang-orang yang teraniaya itu dengan sedikit uang.
Memang, terkadang dia menasihati anak-anaknya itu dan menerangkan tentang
bahaya dari perbuatan mereka, tetapi semua itu tidak berguna. Tentu saja orang
itu sangat marah atas perbuatan anak-anaknya, bahkan terkadang mengancam
mereka, tetapi nampaknya ancaman orang tua itu tidak mempan. Mereka mengetahui rasa
sayangnya yang berlebih kepada anak-anaknya membuatnya tidak akan tega
melaksanakan ancamannya, sementara tidak ada seorang pun dari orang-orang yang
terganggu itu yang mengajukan masalahnya kepada hakim, karena menghormati dan
menghargai ayah anak-anak itu dan keluarganya.
Demikianlah
hal itu berjalan selama berhari-hari, sedangkan kejahatan anak-anak itu kian
hari kian menjadi-jadi, bahkan berita tentang mereka makin tersebar ke
mana-mana, dan akhirnya masyarakat menjadi takut, dan para pengangkut dagangan
dari luar kota selalu merasa waswas dan khawatir setiap kali hendak menuju ke
pasar.
Namun,
tatkala Allah Ta’ala menghendaki kebaikan pada anak-anak muda tersebut, dan
menghendaki ketenteraman masyarakat, maka pada suatu hari, anak-anak itu
mengganggu seseorang yang datang membawa dagangannya ke pasar. Anaknak muda itu
tiba-tiba menghadangnya di jalan, lalu sambil tertawa mengobrak-abrik
barang-barang dagangannya, bahkan keledai yang mengangkut barang-barang itu
mereka lukai. Ketika pemilik dagangan itu hendak membela diri, tiba-tiba
anak-anak berandalan itu menghujaninya dengan pukulan berkali-kali sampai
terluka, lalu dibuatnya orang itu jatuh terjerembab di tanah. Pedagang yang
malang itu pun bangkit, lalu menepis debu-debu dari kepala dan janggutnya.
Tiba-tiba bekas-bekas pukulan tongkat pada tubuhnya mengalirkan darah. Oleh
karenanya, dia segera pergi menghindar sambil menangis, lalu masuk ke rumah
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Hamid Rahimahullah. Saat itu, beliau menjabat
sebagai hakim di Buraidah,[1] negeri tempat terjadinya peristiwa itu. Orang
tersebut mengadukan kepada beliau apa yang dilakukan para pemuda berandalan itu
terhadap dirinya.
Tentu
saja Syaikh Abdullah segera memanggil anak-anak muda itu dan memerintahkan
mereka agar menghadap beliau bersama si pengadu. Diperintahkannya para petugas
keamanan menangkap dan mendatangkan mereka. Setelah diperiksa dengan seksama
dan Syaikh merasa yakin anak-anak itu bersalah, maka beliau putuskan mereka
dihukum jilid(dera) sebagai
pelajaran, dan memerintahkan agar hukuman itu dilaksanakan di depan umum, yaitu
di pasar. Kemudian dipenjara selama satu bulan tanpa boleh keluar dari penjara,
kecuali dengan pengawalan ketat.
Selama
proses pengadilan, orang-orang menunggu bagaimana hasilnya. Mereka berharap
anak-anak berandalan itu mendapat hukuman yang membuat mereka jera. Oleh karena
itu, begitu mereka mendengar keputusan Syaikh, mereka pun berjingkrak
kegirangan, berbeda dengan keluarga anak-anak muda itu. Bagi mereka, berita
tentang keputusan pengadilan terdengar bagaikan petir yang menyambar telinga
mereka, apalagi bagi ayah mereka. la dirundung kesedihan dan duka dari segala
penjuru, karena bagaimanapun dia adalah orang yang terpandang, salah seorang
pemuka masyarakat yang sangat dihormati, dia dan keluarganya selama ini
terkenal sebagai orang-orang baik dan shalih. Bagaimana mungkin dia harus
menanggung omongan-omongan orang, bahwa anak-anaknya dihukum dera di depan
umum, yaitu di pasar. Kemudian, apakah gerangan yang akan terjadi berkenaan
dengan harga diri anak-anaknya kelak di masyarakat, siapa yang akan mau menjadi
istri mereka atau berhubungan dengan mereka sesudah itu. Selain itu, pastilah
peristiwa ini akan membuat musuh-musuhnya merasa senang mendengarnya.
Ayah yang
pengasih itu dibuat pusing menghadapi musibah ini. Dia dirundung kesedihan dan
tidak bisa tidur. Kemudian, dia berusaha keras meminta ridha kepada orang yang
teraniaya, atau minimal meminta keringanan hukuman sehingga hakim bersedia
meninjau kembali keputusannya. Akan tetapi, semua upaya tidak berhasil. Karena,
saat itu kepala wilayah itu sedang pergi untuk berobat di Mesir. Maka, orang
tua itu menghubungi lewat teleks untuk meminta tolong kepadanya. Dia memintanya
agar menangguhkan pelaksanaan hukuman sampai dia pulang lalu memeriksa kembali
perkaranya. Hanya sehari saja, maka jawaban sang kepala wilayah itu pun datang
lewat teleks juga, berbunyi, “Andaikan
hak itu punya kami, kami bisa saja memaafkan. Tapi, kalau hak itu punya orang
lain, maka kami berlepas diri kepada Allah dari apa yang bukan hak kami.”
Karena
itulah, wakil kepala wilayah —orang yang terkenal tegas – itu pun bangkit. Dia
marah sekali mendengar perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak-anak berandalan
itu, tetapi dia tidak bisa berbuat apa pun selain bertindak sesuai ketentuan
hukum syara’. Kemudian, dia pun melaksanakan hukuman itu dan melakukannya
sendiri. Anak-anak muda itu didatangkan dalam keadaan diborgol ke tengah pasar
saat matahari meninggi ketika berkumpulnya orang banyak.
Ayah yang
pengasih itu juga datang, dia nampak sedih sekali. Dia datang sambil berlari,
sementara air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Kemudian, dia mencium
kepala wakil kepala wilayah itu seraya berkata, “Saya benar-benar meminta
kepadamu, hai Abu Muhammad, cicillah hukuman dera ini dalam beberapa hari,
jangan Anda laksanakan sekaligus.”
Jawab
wakil kepala wilayah, “Minggirlah kau, orang tua. Ini bukan urusanmu. Urusanmu
ada di rumahmu, bukan di sini.” sesudah itu, dia langsung memanggil anak yang
tertua, orang yang berperawakan gemuk. Dia didatangkan lalu disuruhnya duduk ke
atas tanah, maka wakil kepala wilayah itu menderanya dengan kuat. Anak itu
berteriak keras. Pada saat itu, orang tua yang malang itu jatuh pingsan.
Beberapa orang segera membawanya pulang ke rumah, kemudian memercikinya air.
Adapun wakil kepala wilayah itu tidak bergeming dari tempatnya, dia terus
melaksanakan hukuman sesuai undang-undang terhadap semua anak tersebut.
Selanjutnya, dia memerintahkan mereka dibawa ke penjara.
sementara itu, ayah yang malang itu tergeletak di tempat tidur. Berbagai macam tekanan menyebabkannya jatuh sakit. Kerabat-kerabatnya yang dekat maupun yang jauh datang menjenguknya. Tiap hari dia menanyakan keadaan anak-anaknya hampir setiap saat.
sementara itu, ayah yang malang itu tergeletak di tempat tidur. Berbagai macam tekanan menyebabkannya jatuh sakit. Kerabat-kerabatnya yang dekat maupun yang jauh datang menjenguknya. Tiap hari dia menanyakan keadaan anak-anaknya hampir setiap saat.
Setelah
masa hukuman selesai, anak-anak muda itu pun dibebaskan. Mereka kembali ke
rumah. Dan sesudah itu… Subhanallah, Mahasuci Allah Yang Mahapandai
membolak-balikkan keadaan. Peristiwa itu ternyata menjadi pelajaran yang sangat
mendalam bagi anak-anak muda tersebut. Pelajaran ini benar-benar bisa mengubah
total jalan mereka. Setelah sebelumnya menyia-nyiakan shalat, kini mereka
sangat memperhatikan dan memeliharanya dengan baik. Apabila sebelumnya mereka
suka melakukan kedurhakaan, kini mereka menjadi anak-anak yang berbakti dan
baik. Apabila sebelumnya mereka suka mengganggu orang lain, kini mereka menjadi
orang-orang yang penyantun dan shalih. Kemudian, mereka pun berubah menjadi
orangorang yang sibuk berdagang. Anak yang tertua tinggal di Jedah. Dia kini
mengimpor barang-barang dari luar negeri. Sedangkan saudara-saudaranya yang
lain berdagang di pasar-pasar kota Riyadh dan di berbagai kota lainnya di
Al-Qashim. Mereka semua mendapat kekayaan yang banyak dan dagangan yang laris.
Selanjutnya, mereka meminta maaf kepada orang-orang yang dulu mereka ganggu.
Ada salah
seorang kerabat anak-anak muda itu bercerita kepada saya bahwa mereka menjadi
pendukung setia terhadap Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Hamid dan wakil
kepala wilayah tersebut Rahimahumallah, sebagai balas budi atas jasa mereka
member pelajaran yang berharga.
Adapun
ayah yang dulu dirundung kesedihan itu, kini merasa tenteram hatinya atas
keshalihan, kebaktian, kebaikan, dan kelembutan anak-anaknya terhadap dirinya,
dan atas silaturahmi mereka yang baik terhadap kerabat-kerabatnya Berta sikap mereka
yang santun terhadap sesama manusia dan nama mereka yang harum di tengah
masyarakat. Orang tua itu kini selalu mengulang-ulang kata-kata, “Subhanallah,
betapa banyak kebaikan yang melimpah pada sesuatu yang tidak disukai diriku
ini, sedangkan diriku melalaikannya.” Dan, firman Allah Ta’ala tentu lebih
tepat lagi, “Barangkali kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar